Cari di Blog ini

Selasa, 29 Desember 2009

Jangan Halangi Rizkimu


            Rizki menurut definisi Islam adalah segala sesuatu yang diberikan Allah Swt kepada kita yang berupa kenikmatan-kenikmatan. Uang adalah rizki, kesehatan juga merupakan rizki, nasehat yang kita peroleh dari seseorang juga merupakan rizki, segala kebaikan, umur, waktu, hidayah yang Allah anugerahkan kepada kita adalah rizki, bahkan kehidupan yang Allah berikan kepada kita ini adalah rizki.
            Begitu banyak rizki yang telah Allah berikan kepada kita, akan tetapi betapa sedikitnya rasa syukur kita. Rasa syukur salah satunya dapat ditunjukkan dengan senantiasa taat kepadaNya. Ingatkah kita firman Allah yang menyatakan bahwa jika kita tidak bersyukur itu artinya kita kufur, dan tidak mengakui bahwa Allahlah yang memberikan segala nikmat kepada kita.

            "Jika kalian bersyukur (kepadaKu) niscaya Aku akan tambahkan nikmat (Ku), dan jika kalian kufur sesungguhnya azabKu sangat keras" (Q.S. Ibrahim: 7)

            Segala aktivitas kita yang tidak berdasarkan karena kesyukuran kepadaNya adalah sebuah bentuk kekufuran. Dalam firman Allah diatas, kekufuran terhadap nikmat yang Allah berikan akan membuat penambahan rizki dari Allah tidak akan diberikan kepada kita, dengan kekufuran atas nikmatNya berarti akan mengahalangi rizki atau nikmat yang akan Allah berikan selanjutnya.
            Kata lain dari bentuk sebuah kekufuran adalah kemaksiatan atau dosa. Seseorang yang melakukan kemaksiatan atau dosa akan terhalangi dari rizki Allah Swt, dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda:

            "sesungguhnya seorang hamba akan terhalangi rizkinya karena dosa yang dilakukannya" (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

            Jika dalam definisi aktivis dakwah rizki itu adalah ketika seseorang memperoleh hidayah Allah melalui perantaranya, maka kemaksiatan atau dosa akan menghambat hidayah masuk kedalam hati seseorang yang didakwahinya.
            Untuk itu janganlah menghalangi rizkimu dengan kemaksiatan-kemaksiatanmu dan perolehlah rizkimu dengan senantiasa mengaplikasikan kesyukuranmu. Semoga Allah memberikan kita anugerah untuk senantiasa bersyukur kepadaNya. Amiin.
Wallahua'lam bishawwab

Oleh: Ahmad Ilhami
Email: ilham_fis@yahoo.com
Phone: 08561036596

Buatlah Target Akhiratmu


            Sejak kita duduk di bangku Sekolah Dasar ataupun Sekolah Menengah sering kita ditanya oleh guru ataupun orang tua kita; cita-citanya apa? udah gede mau jadi apa? dan kita menjawab dengan bermacam-macam jawaban, seperti; jadi dokter, insinyur, polisi, profesor, presiden dan lain-lain. Itulah pertanyaan-pertanyaan dari sejak kecil hingga remaja bahkan sampai dewasa selalu diucapkan oleh sebagian besar orang kepada kita.
Suatu hari penulis pernah ditanya oleh seorang kerabat, setelah lulus kuliah ingin kerja dimana? penulis dengan jawaban polosnya menjawab; belum terpikirkan dan masih mencari-cari, kemudian dengan nada agak tinggi sipenanya memberikan tanggapan, kenapa tidak direncanakan dari awal, pikirkan dong, itukan demi masa depanmu! Penulis hanya diam.
            Kebanyakan manusia di zaman sekarang ini (menurut pendapat penulis pribadi) sangat berlebihan dalam berorientasi terhadap duniawi, mengejar karir dan jabatan dengan mengabaikan aturan Allah, dan sangat terobsesi dengan itu semua sampai-sampai fisik dan jiwa serta pikiran dikuras habis-habisan. Mobil mewah, rumah megah, nama terpandang dan harta melimpah adalah target utamanya. Bahkan kebanyakan dari mereka telah membuat rencana dan jadwal yang sangat matang untuk mendapatkan target itu, tahun sekian mempunyai mobil mewah, tahun sekian memiliki jabatan ini dan itu,dst. Apakah itu semua salah? apakah itu semua dilarang oleh agama Islam? Renungkanlah Firman Allah berikut ini:
            "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah suatu permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan dan berbangga-bangga diantara kamu" (Q.S. Al Hadid: 20)

            Ingatkah kita kisah tentang Qorun yang dibenamkan kedalam bumi beserta harta dan rumahnya!? -InsyaAllah akan dibahas pada tulisan-tulisan berikutnya khusus tentang kisah Qorun-

            Allah Swt mengajarkan kita menjadi orang-orang yang tidak berlebihan dalam segala sesuatu, Islam mengajarkan kita untuk tidak bermegah-megahan dan berfoya-foya (hedonisme), Islam mempunyai solusi tepat dan rumusan canggih terkait kekayaan, dan segala hal menyangkut keduniaan. Sebagai contoh, dalam Islam seseorang tidak dilarang untuk menjadi seseorang yang kaya harta, asalkan memperoleh dan membelanjakannya haruslah sesuai dengan syariatNya. Harta berlimpah akan tetapi diperoleh dari hasil korupsi, merampok dan semacamnya adalah tidak dibenarkan dalam Islam. Membelanjakan harta pun harus sesuai dengan syariatnya, misal memberikan santunan fakir miskin, zakat, dll. Itulah Islam, tidak melarang seseorang untuk kaya, asalkan kekayaan itu dihasilkan dan menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan syariatNya.
            Jadi, seseorang boleh memiliki target dunia (yang tidak berebih-lebihan), tetapi dengan syarat jangan lupakan target akhirat, karena target akhirat adalah representasi dari seseorang yang ingat akan kematian dan pembalasan amal di yaumil akhir kelak, dan merupakan cermin dari orang yang memiliki keimanan yang kuat dan karena Allah Swt telah menyatakan bahwa akhirat jauh lebih utama dibandingkan dengan dunia, firmanNya:

            "Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, dan kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal" (Q.S. Al a'la: 16-17)

dan Rasulullah Saw menyatakan bahwa dunia ini tidak senilai dengan sayap nyamuk disisi Allah Swt:

            "Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggaman kekuasaanNya,seandainya dunia ini disisi Allah senilai dengan sayap nyamuk, niscaya Dia tidak akan memberi minum orang kafir dengan seteguk air pun" (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah) 

             Untuk itu, janganlah kita lupakan target yang ingin kita capai diakhirat kelak, apakah surga firdaus, surga 'adn, surga ma'wa, atau surga na'im?. Janganlah kita lupakan berapakah target jumlah bidadari yang ingin kita dapatkan di surga nanti, apakah 2, 3, 4, 5, 10, 20 atau 70 bidadari?. Jangalah kita lupakan target dengan cara seperti apa kita akan melalui jembatan shirath, apakah seperti orang yang merangkak? apakah seperti burung yang terbang? apakah secepat kilat?. Janganlah kita lupakan target rumah yang seperti apa yang kita inginkan disurga nanti, apakah rumah megah yang berisikan segalanya? atau  apakah Istana dari emas? dan lain sebagainya.
            Jika kita bisa membuat target dunia dengan rencana dan jadwal yang matang, maka sudah seharusnya akhirat pun demikian, bahkan akhirat harus lebih diutamakan. Maka orientasikanlah diri pada akhirat dan buatlah target-targetnya.
Semoga kita digolongkan olehNya sebagai ahli surga. Amiin
Wallahua'lam bishawwab

Sumber:
Siyathul Qulub, Dr. 'Aidh bin Abdullah Al Qarni
Komitmen Muslim Terhadap Harakah Islamiyah, Fathi Yakan
Membangun Ruh Baru, Musayaffa' Abd Rahim
dan sumber lainnya

Oleh: Ahmad Ilhami
Email: ilham_fis@yahoo.com
Phone: 08561036596

           

Aceh dari Corong Masuknya Islam di Nusantara Hingga Qonun Terbentuk (2)


(Lanjutan)

Aceh Pada Masa Proklamasi Kemerdekaan RI (1945)
            41 tahun kemudian semenjak selesainya berbagai perang di Aceh, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, yang diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.
            Perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai. Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan Soekarno sebagai Presiden  dan Hatta sebagai Perdana Menteri, dan Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia, pengakuan kedaulatan RIS (1949-1950) ini tanpa disertai dengan Aceh.
            1 tahun setelah kedaulatan RIS (1950), kemudian RIS berubah menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan saat itulah muncul perbedaan pandangan para petinggi dan pejuang Aceh, beberapa akan ikut dengan NKRI dan beberapa yang lain ingin berdaulat sebagai negara Aceh yang berlandaskan Islam. Daud Beureuh adalah salah satu yang berpandangan bahwa Aceh bisa berdiri sendiri tanpa NKRI.

Awal Pemebrontakan di Aceh
            Tanggal 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan  sumpah. ”Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.” Kecuali Mohammad Daud Beureueh. Lalu, pada Pukul 10.00 dikibarkan bendera merah putih di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur) dan Tengku Nyak Arief menjadi gubernur terpilih.
            Beberapa tokoh lainnya juga mengikuti Daud Beureueh, diantaranya para hulubalang, prajurit di medan laga, prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal  sebuah gerakan pemberontakan terhadapa pemerintah pusat. Saat itu, Motornya adalah Daud Cumbok, markasnya di daerah Bireuen. Akan tetapi tokoh-tokoh ulama menentang cara Daud Cumbok ini. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, yaitu M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946.

Munculnya Pemberontakan Darul Islam (DI/TII)
            Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh (yang awalnya tidak mengucapkan janji setia kepada RI) ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh. Dan ditahun ini pula, tepatnya tanggal 16 Juni 1948 Soekarno menyatakan berjanji Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam. 
            Saat itu kondisi RI terus labil dan Belanda merajalela kembali, sehingga muncul gagasan-gagasan untuk melepaskan diri dari RI. Ide datang dari Dr. Mansur dan Wilayahnya tak cuma Aceh, tetapi meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan,  Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Saat itu Daud
Beureueh menentang ide ini, bahkan dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa
Aceh adalah bagian RI dan memobilisasi dana rakyat.
            Setahun kemudian (1949) Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan semua untuk Indonesia, diberikan untuk ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
            Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh dipenuhi kemarahan, apalagi janji Soekarno pada 16 Juni  1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.
            Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh, Beureueh tak minta merdeka, hanya meminta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953 (ide ini telah diusung di Jawa Barat oleh Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam). Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo.
            Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene  Islam mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Terjadi tragedi yang sangat bengis yang membuat kecewa para tokoh Aceh yang sejak awal pro-Soekarno, yaitu telah terjadi pembunuhan rakyat Aceh secara masal oleh TNI (1955), sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan dilapangan lalu ditembaki. Setelah melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada tahun 1959, Aceh
memperoleh status propinsi daerah istimewa.
            Soekarno makin represif saat itu, setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh kekuatan militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan Indonesia (RPI) pun ditumpas, pemimpin-pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syafarudin  Prawiranegara menyerah, diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti Muhammad Natsir, akan tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di hutan, melawan pemerintahan Soekarno.
            Beureueh merasa dikhianati Soekarno, Bung Karno tidak mengindahkan struktur  kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh sangat besar kepercayaannya kepada ulama.
            Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution, yaitu menyerah. Beureueh menuruti menantunya karena ada janji dari pemerintah akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (yang akhirnya baru terwujud tahun 2001).

Pemberontakan GAM (1976-2005)
            GAM lahir di era Soeharto, saat itu sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah dan kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.
            Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang awalnya sudah tenang akhirnya bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat dan agama Islam di Aceh. Pertemuan digagas oleh para tokoh itu (tahun 1970-an). Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Allah. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata.
            Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Hasan Tiro akan mengirim senjata ke Aceh (Zainal tak lain adalah kakak dari Hasan Tiro). Saat itu senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal.
            Pada tanggal 24 Mei 1977, para tokoh seperti Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal  Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi nama tokoh lainnya berkumpul di kaki Gunung Halimun, mendirikan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
            Sepanjang 1980an, Aceh lebih dikenal karena konflik yang terjadi antara GAM dan TNI daripada daerah yang menuntut penegakkan syari’at Islam. Banyak para ulama yang kehilangan kepercayaan dari masyarakat, karena mereka bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk meraih suara Golkar serta membangun pertahanan melawan kelompok separatis.
Saat itu, setiap upaya mendesakan penerapan Syari’at berarti melawan Pancasila ideologi negara Presiden Soeharto, apalagi GAM juga telah menyatakan maksudnya untuk menerapkan hukum Islam jika Aceh merdeka.
            GAM membangun hubungan internasional melalui para pengusaha asal Aceh yang telah sukses diluar negeri sehingga mereka mempunyai donatur tetap, di antaranya di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh,Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh, Rajek Tengku Tarzura. Dengan dana yang melimpah, pembelian senjata dapat dilakukan dengan mudah. Sedangkan untuk Pelatihan-pelatihan militer anggota GAM  dilakukan di Libia.

Berkembangnya Aspek-aspek Pemikiran Pendukung Penerapan Syariat Islam
            Sebuah perkembangan kelembagaan yang cukup penting yang terjadi pada era Soeharto yakni pembentukan pengadilan agama di seluruh Indonesia pada 1989. Pengadilan agama ini bukan mahkamah syariat, tetapi di Aceh pengadilan ini menangani masalah-masalah yang sama dengan yang ditangani oleh pengadilan Daud Beureueh sebelumnya, yaitu: masalah perkawinan dan perceraian, tanah dan warisan.
            Sepanjang masa Orde Baru, selama 30 tahun lebih, jelas bukan saat tepat melakukan lobi untuk penerapan Syari’at. Jatuhnya Soeharto pada 1998 telah menyebabkan sebuah pergeseran yang dramatis. Seakan-akan sebuah tirai tiba-tiba diangkat, pengungkapan tentang kekejaman yang dilakukan terhadap rakyat Aceh yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto mengalir keluar dari Aceh. Hari demi hari, terutama antara bulan Juni dan Agustus 1998, berita-berita di media siaran maupun cetak dipenuhi dengan cerita dari para saksi tentang kasus-kasus pembunuhan dan perkosaan terhadap warga sipil, dan banyak kuburan masal yang ditemukan.
Pada bulan Agustus 1998, Jendral Wiranto, yang saat itu adalah Panglima ABRI, mengumumkan berakhirnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Sementara pada awal 1999, Presiden Habibie secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh atas perlakuan kejam yang mereka alami. Ada perasaan oleh pemerintah pusat di Jakarta pada waktu itu bahwa Aceh layak mendapatkan ganti rugi.
             Antara tahun 2000 hingga 2004 (tragedi tsunami), konflik di Aceh memburuk, meskipun selama itu ada beberapa upaya perundingan damai. Seiring dengan berlanjutnya konflik, TNI menjadi salah satu pendukung penegakan hukum Islam, karena TNI melihat Syari’at Islam sebagai sebuah benteng melawan GAM: argumentasinya adalah rakyat Aceh memberontak pada tahun 1950an karena mereka tidak mendapatkan Syari’at, dan salah satu janji GAM kepada rakyat Aceh adalah menjalankan Syari’at (meskipun GAM adalah sebuah gerakan sekuler yang mencoba mengganti Islam dengan nasionalisme Aceh sebagai dasar ideologi mereka); karena itu, untuk menggerakkan dukungan melawan GAM, gunakan syari’at.

Akhir Konflik
            Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa. Setahun kemudian, pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.
            Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan Aceh Jaya. Kemudian tanggal 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya.
            Sejak itu sampai saat ini (2009) konflik antara GAM dan RI sudah tidak berlanjut lagi. Semoga tidak ada lagi konflik-konflik semacam ini dikemudian hari.

Penerapan Syariat Islam di Aceh
            Berbagai perkembangan tersebut diatas, telah membuat pemerintah dan banyak orang Aceh melihat Syari’at Islam sebagai sebuah kemungkinan solusi politik. Hukum Islam adalah hal yang diinginkan oleh rakyat Aceh  Beberapa pejabat percaya bahwa Syari’at akan dapat memblokir gerakan GAM, dan keberhasilan pelaksanaan Syari’at Islam diyakini merupakan salah satu jalan yang akan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah pusat.
            Hasilnya adalah diadopsinya UU No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh – untuk yang pertama kali sejak status daerah istimewa ini diberikan tahun 1959. UU ini menghendaki diterapkannya Syari’at bagi pemeluk Islam, tetapi juga perlindungan bagi hubungan antar agama. UU ini mendefinisikan Syari’at sebagai “tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan” dan memberi wewenang kepada pejabat pemerintah setempat untuk menentukan kebijakan tentang kehidupan beragama, adat istiadat, pendidikan dan peran ulama, baik melalui peraturan daerah atau keputusan gubernur.
            Untuk mengawasi kebijakan-kebijakan tersebut, pada 2001 pemerintah propinsi membentuk Dinas Syari’at Islam. Fungsinya adalah untuk menyusun rancangan peraturan
dalam rangka penyelenggaraan hukum Islam (belakangan disebut qanun), mengawasi pelatihan bagi personil Dinas Syari’at Islam, memastikan ketertiban fungsi tempat ibadah dan fasilitas Islam lainnya, memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum Islam dan mengawasi warga mentaatinya.
            TNI, menurut seorang pejabat di Aceh, telah memberikan dorongan untuk pertumbuhan birokrasi agama. Kantor-kantor Syari’at Islam di tingkat kabupaten mulai didirikan pada tahun 2002 lewat perda. TNI mungkin tak terlibat dalam pendirian beberapa kantor syari’at Islam yang pertama, meskipun kantor-kantor ini semuanya berada di wilayah konflik yang paling rawan.
            Aceh Tengah adalah salah satu wilayah yang pertama kali membuka kantor syari’at Islam pada bulan November 2002. Wilayah ini menjadi lokasi terjadinya sebuah kekerasan yang secara dramatis meningkat pada bulan Juni-Juli 2001, ketika GAM melakukan serangan terhadap sebuah lokasi transmigran asal Jawa yang kemudian menyebabkan dilakukannya serangan balasan oleh gabungan antara TNI dan milisi. Kantor-kantor Syari’at Islam yang lain didirikan di seluruh wilayah dimana banyak terjadi kekerasan, yaitu: Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Tetapi setelah pemerintah Indonesia menyatakan diberlakukannya darurat militer pada bulan Mei 2003 di Aceh, hampir seluruh kantor Syari’at Islam didirikan di kabupaten-kabupaten, atas anjuran dari Penguasa Darurat Militer.
            Pemerintah Indonesia memakai organisasi-organisasi Aceh untuk mendiskreditkan para anggota GAM dari segi keislamannya. Namun pendirian GAM tentang Syari’at lebih rumit dari yang diperkirakan oleh lawan-lawannya. GAM dianggap lebih merupakan gerakan nasionalis daripada Islamis, dan para pimpinannya memiliki perasaan yang bertentangan mengenai hukum Islam.
Pada Akhirnya penerapan Syariat Islam mulai dibangun dan secara perlahan diterapkan secara bertahap di beberapa daerah di Aceh dan akhirnya telah berlangsung beberapa pelaksanaannya di Aceh sampai sekarang (2009).

Kesimpulan
  1. Kekuatan Islam Nusantara melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda.
  2. Efek dari penjajahan Belanda masih terasa sampai saat ini, berupa pelemahan sejarah Islam (teori Snouck Hurgronje) dan sistem perundang-undangan negara Indonesia yang merupakan warisan Belanda,
  3. Kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa dan Sumatera memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Belanda, yang pada akhirnya justru 'tidak dihargai' jasanya dan justru digelapkan dari sejarah.
  4. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah, tak hanya di Jawa dan Sumatera, tetapi juga di seluruh wilayah Nusantara, sejarah ini yang perlu diangkat agar Umat Islam sadar dan bangkit kembali.
  5. Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar, sejarah itu pula yang mengantarkan Indonesia saat ini menjadi sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja akibat ulah pihak luar yang ingin melemahkannya.
  6. Rakyat Indonesia, khususnya umat Islam adalah orang-orang dengan sejarah besar, karena itu umat Islam mempunyai tugas untuk mengembalikan dan mengukir kembali sejarah yang besar ini untuk kebangkitan Islam.
  7. Walaupun penerapan syariat Islam di Aceh berbau Politis, akan tetapi dapat menjadi solusi perdamaian di Aceh dan semoga dapat menjadikan Aceh sebagai wilayah yang diberkahi Allah Swt karena menjalankan hukumNya.
  8. Semoga kita bisa menjadi orang yang mampu memetik sejarah sebagai pelajaran sebagai tauladan hidup di masa kini, amiiin.
Wallahu a’lam bishawwab


Sumber:
Majalah Sabili, Herry Nurdi
Artikel "Samudera Pasai, Khilafah Islam Nusantara", Hery Ruslan
Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, H. Uka Tjandrasasmita
Sejarah Aceh, dari Wikipedia
Kesultanan Aceh, NII-RI dan NLFAS, Ahmad Sudirman
The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation
Front of Acheh Sumatra
Syari’at Islam Dan Peradilan Pidana Di Aceh, Asia Report , 31 Juli 2006
Majalah enha, artikel oleh A. Mansyur Surya Negara.

Oleh: Ahmad Ilhami
Blog: ahmad_ilhami.blogspot.com
Phone: 08561036596


Jumat, 25 Desember 2009

Aceh dari Corong Masuknya Islam di Nusantara Hingga Qonun Terbentuk

Tiga Teori Masuknya Islam ke Nusantara
1. Teori Snouck Hurgronje:Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara dan Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13-di anut oleh para sarjana barat.

2. Teori Persia:Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara dan Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13.

3. Teori Arabia:Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin. Literatur-literatur cina bahkan menyebutkan sebelum abad ke 7 sudah terbentuk perkampungan Arab Muslim di Pesisir Sumatera dan juga disebutkan bahwa duta dari Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M) datang ke Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah, hanya berselang 20 tahun setelah Rasulullah wafat (Herry Nurdi-Sabili).

Intinya, Aceh adalah tempat awal mula Islam berkembang di Indonesia dan PEndapat ke-3 adalah yang paling tepat.

          Hubungan antara Aceh dan kekhalifan ini merupakan hubungan yang timbal balik, dengan banyaknya para pedagang dari Aceh yang sengaja berlabuh di jeddah untuk memperdalam Islam langsung dari sumbernya saat itu. Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah.


          Sejak zaman VOC sebenarnya Belanda mengakui hukum Islam di nusantara, dengan adanya Regerings Reglemen (1855) Belanda mempertegas perlakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori "Receptio in Complexu" yang intinya menyatakan "untuk orang Islam berlaku hukum Islam".Sampai akhir abad IX, teori ini masih berlaku kemudian Snouck Hurgronye mengubah teori ini dengan teori "Receptie" yang menyatakan hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat (Adhian Husaini).


Sejarah Islam Masuk ke Aceh

Masuknya Islam ke Aceh
        Literatur Arab kuno yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya (kerajaan Budha yang berpusat di Palembang SumSel). Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis, hingga Abad ke 12 Sriwijaya mengalami kemunduran dan masih tetap ada sampai tahun 1377.
Selain itu tentu Islam juga telah berkembang di Aceh yang saat itu masih berbentuk kerajaan yang dikenal sebagai Samudera Pasai, yang dipimpin oleh Meureuh Silu/Malik Al-Saleh (wafat 1297).

       Literatur-literatur cina bahkan menyebutkan sebelum abad ke 7 sudah terbentuk perkampungan Arab Muslim di Pesisir Sumatera dan juga disebutkan bahwa duta dari Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M) datang ke Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah, atau hanya berselang 20 tahun setelah Rasulullah wafat (Herry Nurdi-Sabili).

      Menurut HAMKA dalam bukunya Sejarah Umat Islam, Muawiyah bin Abi Sofyan yang merupakan bagian utusan Khalifah pada saat bersamaan secara diam-diam juga telah berdakwah dan singgah di tanah Jawa yang merupakan cikal bakal berkembangnya Islam melalui dakwah Wali Songo.

Samudera Pasai di Gempur oleh Kerajaan Majapahit

      Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Pada tahun 1350 Majapahit menggempur Samudera-Pasai dan mendudukinya, 27 tahun kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempur, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara buddha.


       Tahun 1389 Raja Majapahit Hayam Wuruk meninggal dan diganti putrinya Kusumawardani, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran karena terjadi perang saudara antara Kusumawardani dengan Wirabhumi yang merupakan putra ayahnya dari selirnya, kemunduran kerajaan ini semakin memuncak ketika Kusumawardhani digantikan oleh Raja Giridrawardhana dan diserang oleh Kerajaan Demak Islam yang dipimpin Raden Fatah.

        Saat itu muncul kerajaan Malaka yang dipimpin oleh paramesywara yang berganti nama Sultan Iskandar Syah setelah masuk Islam, berkembang sampai tahun 1511, yang kemudian ditaklukkan portugis yang dipimpin Albuquerque.

Samudera Pasai Bangkit Kembali

       Saat itu pula kerajaan Samudera Pasai (Aceh) mulai bangkit kembali dan mampu melawan serangan-serangan portugis dibawah kepemimpinan sultan-sultannya, yaitu; Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528), diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537), Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568), Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), Sultan Seri Alam (1576), Sultan Muda (1604-1607), Sultan Iskandar Muda(1607-1636), kemenangan-kemenangan melawan Portugis ini tidak lepas dari bantuan angkatan perang Turki Utsmani, yang juga telah membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Portugis dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Sampai Periode awal abad ke 19 keadaan Aceh tenang.

Perang Aceh dengan Belanda (1873-1904)

        Tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Perang pertama yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Kohler sendiri tewas pada tanggal 10 April 1873.

        Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.

        Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

        Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh yang menyebabkan Teuku Umar gugur, kemudian pimpinan gerilya digantikan istrinya Cut Nyak Dien.

       Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawanan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers), dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

       Hasil dari penyamarannya tersebut dipakai sebagai siasat perang Belanda yang dituangkan dalam nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh, yaitu;
1. Supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya    dikesampingkan.
2. Menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

       Nasehat tersebut diterapkan oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904) dan Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya. Gerakan perang Belanda ini dipimpin oleh Cristoffel dengan menggunakan strategi, yaitu:
1. Meniru taktik perang gerilya pejuang Aceh, ayitu perang gerilya.
2. Penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh agar para gerilyawan mudah menyerah, diantaranya putra panglima Polem,    sehingga Panglima Polem menyerah.
3. Pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang menentang Belanda (2922 orang Aceh dibunuh)-dibawah pimpinan Van Daalen    yang menggantikan Van Heutz.
4. Menangkap Cut Nyak Dien yang masih melakukan perlawanan.

         Taktik perang ini berhasil dan membuat Aceh tunduk dibawah kekuassan Belanda, yang dinyatakan dalm surat perjanjian yang telah dibuat Van Heutz sebelumnya, yang berisi:
1. Raja mengakui bahwa Aceh bagian dari Belanda.
2. Raja tidak akan mengadakan hubungan diluar negeri.
3. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda.

Aceh Pada Era Beberapa Tahun Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI

        Pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.

       Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan.

       Pada tanggal 12 Maret 1942 Rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para hulubalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan hulubalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.....(Bersambung)

Sumber:
Majalah Sabili, Herry Nurdi
Artikel "Samudera Pasai, Khilafah Islam Nusantara", Hery Ruslan
Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, H. Uka Tjandrasasmita
Sejarah Aceh, dari Wikipedia
Kesultanan Aceh, NII-RI dan NLFAS, Ahmad Sudirman
Oleh: Ahmad Ilhami
Email: ilham_fis@yahoo.com
Phone: 08561036596





Fenomena Aktivis Dakwah Melenceng dari Jalur Syar'i


            Seluruh manusia pada dasarnya diciptakan hanya untuk beribadah kepadaNya saja, ini merupakan prisip tauhid yang harus dipegang teguh oleh setiap muslim dan muslimah. Jadi tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah sampai akhir hayatnya, untuk itu setiap muslim dan muslimah ketika melakukan tindakan, haruslah ia memikirkannya terlebih dahulu apakah yang akan dilakukannya sebagai bentuk ibadah kepadaNya atau bukan. Terlebih bagi para aktivis dakwah, yang notabene merupakan orang-orang yang telah paham mengenai hakikat dirinya sebagai hamba Allah.

            Seorang aktivis dakwah memiliki peran sebagai penyampai risalah Islam, sebagai penyampai aturan-aturan Allah dan RasulNya kepada seluruh manusia yang belum mengenal secara baik risalah dan aturan-aturan dalam Islam tersebut, maupun kepada manusia yang sudah mengenal dengan baik tetapi tidak melaksanakannya dalam kehidupannya sehari-hari.

            Itulah tugas-tugas da'i, betapa naifnya ketika terjadi fenomena seorang da'i justru melanggar aturan-aturan Allah dan RasulNya yang seharusnya ia sampaikan. Sudah jelas murka Allah akan segera menimpanya, karena ia mengatakan apa-apa yang tidak ia kerjakan, firman Allah:

'amatlah besar murka disisi Allah bagi siapa yang mengatakan tetapi tidak mengerjakan" (Q.S. Ash Shaff: 3)

            Manusia secara umum tak terkecuali seorang da'i pasti pernah berbuat kesalahan dan kekhilafan (melangggar aturanNya), akan tetapi ciri seorang da'i yang benar, yang mempunyai nilai ketakwaan ialah ketika melakukan kesalahan ia akan segera bertaubat dan memohon ampunannya dan tidak akan terjerumus dalam kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Allah Swt berfirman:

"Dan (juga) orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?, dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" (Q.S. Ali imron: 133)
     
            Menurut pengalaman penulis -yang memang masih sangat sedikit dalam aktivitas dakwah- pada aktivitas dakwah, kita akan selalu dihadapkan pada berbagai masalah didalam tubuh jama'ah (internal) -selain masalah eksternal- yang kebanyakan permasalahan tersebut lebih pada permasalahan yang dialami oleh individu-individu dalam jama'ah itu.

Salah satu permasalahan itu adalah fenomena virus merah jambu (VMJ) atau gaya pacaran/zina ala aktivis, dilematis dan naif memang permasalahan seperti bisa terjadi. Bangunan dakwah dalam jama'ah itu niscaya akan rapuh dan akan segera roboh jika 'penyakit' seperti VMJ ini tidak segera di scan dan dibersihkan, karena VMJ itu adalah 'penyakit' yang merusak jiwa dan aqidah seorang aktivis, sehingga akibatnya sangat fatal bagi dakwah, jama'ah, dan tentu juga akan berakibat fatal untuk diri sang aktivis itu sendiri.

            Pada dasarnya memang fitrah sebagai manusia untuk mencintai dan dicintai lawan jenisnya, akan tetapi kefitrahan tersebut janganlah menjadi alasan untuk menghalalkan pacaran/zina ala aktivis, karena Allah dan RasulNya telah mengatur cara yang halal dalam menuangkan fitrah insaniyyah (fitrah kemanusiaan) tersebut, yaitu dengan menikah.

            Fenomena ini terjadi karena hawa nafsu tak terkendali karena provokasi dari bisikan syetan yang menyesatkan, serta benteng keimanan yang saat itu tidak kokoh, juga karena aqidah yang saat itu rapuh dan jarang mendapatkan pengingatan (tadzkiroh), sehingga hatinya gelap dari cahaya Allah, dan akhirnya perbuatan tersebut dipandang indah dan seolah tidak menyimpang dari aturan-aturanNya.

            Solusi untuk permasalahan ini adalah dengan memberikan penyadaran terhadap kesalahan yang diakukan, proses penyadaran memang butuh waktu yang tidak sebentar, akan tetapi dengan memberi pengingatan saja sebenarnya sudah cukup, karena ini menyangkut permasalahan antara hamba dan Allah, sehingga perubahan diri tidak bisa dipaksakan oleh orang lain, yang dapat merubah adalah diri sendiri yang bersumber dari kesadaran akan kesalahan tersebut.

            Dari pemaparan singkat diatas, agar permasalahan VMJ tidak menjadi endemi pada tubuh jama'ah, penulis menyarankan antara da'i dengan dai'yah haruslah menjaga adab-adab berinteraksi, dengan prinsip tak ada interaksi jika memang tak perlu dan tak syar'i. Janganlah ikhwan maupun akhwat saling memberikan perhatian yang menghanyutkan perasaan masing-masing, karena itu bisa menjadi pemicu awal dari berkembang biaknya VMJ.

Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari hal-hal semacam itu, amiin. Wallahu a'lam

Oleh: Ahmad Ilhami
Email: ilham_fis@yahoo.com
Phone: 08561036596

Kamis, 24 Desember 2009

Amanah Kaderisasi


             Kaderisasi didefinisikan (menurut interpretasi penulis berdasarkan pengalaman dan studi pustaka) sebagai suatu proses yang terkait pembinaan para penggerak dakwah (Muharrikud- da'wah/kader), proses terkait regenerasi suatu jamaah pergerakan islam (harakah islamiyah) dan penjagaan kepada nilai-nilai keaslian dakwah (ta'shilud da'wah).
            Tiga tugas utama tersebut bukanlah tugas yang dilaksanakan oleh pemegang amanah kaderisasi berdasarkan kepada hal-hal teknis belaka, layaknya sebuah organisasi pada umumnya, akan tetapi juga harus didasarkan pada pemaknaan yang dalam dari tujuan dakwah itu sendiri, yaitu meninggikan kalimatNya, apa yang dilakukan semata-mata karena tujuan tersebut. Hal ini penting agar setiap pelaksanaan amanah kaderisasi dapat menghasilkan kader yang semakin kokoh akidahnya, semakin kuat ruhiyahnya, semakin benar dan lurus pemahaman keislamannya (kader muntijah).
            Untuk itu, seorang yang diberikan amanah kaderisasi haruslah memegang dengan kuat prinsip dakwah;

“ashlih nafsaka, wad'u ghairoka”
perbaikilah dirimu, dan serulah orang lain (untuk memperbaiki diri).

            Objek dari amanah kaderisasi adalah muharikud-da'wah, maka seorang pemegang amanah kaderisasi haruslah memiliki kendali untuk melaksanakan segala amanahnya terkait dengan objeknya itu. Untuk itu haruslah ia seseorang yang paling kuat hubungannya dengan Allah Swt (quwatush shilah billah), haruslah ia seseorang yang paling baik dan terjaga kondisi ruhiyahnya (quwatur ruhiyah), haruslah ia memiliki pemahaman yang paling baik dalam agama terutama terkait dakwah dan jihad fi sabilillah.
            Tanpa hal-hal tersebut diatas sebuah harakah islamiyah akan kering dan jauh dari nilai-nilai ruhiyah, padahal aktivitas dakwah memerlukan bekal itu semua sebagai sesuatu yang harus di sampaikan kepada objek dakwah (mad'u) dan agar apa yang di ucapkan dan dilakukan sang da'i memiliki bobot dan meninggalkan bekas (atsar) pada jiwa mad'u (qaulan tsaqilan).
            Secara lebih khusus, seorang pemegang amanah kaderisasi haruslah ia yang selalu tepat waktu dalam sholatnya bahkan menunggu dan menjaga waktu-waktunya, karena sholat adalah tiang agama yang beratapkan jihad, maka dakwah akan runtuh tanpa tiangnya. Ialah yang paling dawam tilawahnya, karena tilawah adalah salah satu caranya 'berinteraksi' dengan Allah Swt. Ialah yang paling bisa menjaga kata-katanya dan setiap tindak perilakunya, karena ia adalah contoh/tauladan yang baik untuk para penggerak dakwah lainnya. Hal-hal seperti inilah yang harus terus dibangun dan dikuatkan oleh para pemegang amanah kaderisasi.
            Setelah itu semua dipahami dan djalankan, maka barulah ia akan menikmati dan menjalankan dengan baik amanah kaderisasi, karena amanah tersebut justru akan menjadi sarana peningkatan kondisi ruhiyahnya. Tanpa itu semua maka amanah kaderisasi akan terasa berat dipikul dan roda dakwah tidak berjalan dengan baik dan hal ini akan erat kaitannya dengan capaian dakwah secara lebih luas, seperti capaian rekrutmen, dan sebagainya.

wawaffaqona 'ala ma yuhibbuhu wa yardhouhu, wa a'anana 'ala imtitsali dzalik
Dan semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menjalankan apa-apa yang dicintaiNya dan diridhoiNya, dan semoga Allah menolong kita untuk melaksanakan hal ini. Amiin
Wallahua'lam.
            Tulisan ini sangat ringkas dan terlihat kurang menyertakan dalil aslinya, insyaAllah penulis sudah usahakan berdasarkan Al Qur'an dan sunnah dan juga studi pustaka serta pengalaman penulis selama mengemban amanah kaderisasi. Jika berkeinginan mengetahui dalil syar'inya dan sumber rujukannya dapat dilakukan dengan diskusi secara langsung atau via email atau komentar di blog. Jazakumullah
Oleh: Ahmad Ilhami
Email: Ilham_fis@yahoo.com
Blog: www.ahmad-ilhami.blogspot.com
Phone: 08561036596

Yang Utama adalah Menjaga Sholat


            Sering kita dengar pada ceramah-ceramah agama yang mungkin pernah kita ikuti, bahwa sholat itu tiang agama dan memang begitu yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.Namun terkadang kita lupa dan tidak memahami makna tersebut, salah satu contohnya adalah banyak orang yang sholat tidak tepat waktu dengan berbagai alasan duniawi semata, dan sebagainya.

Rasulullah Saw bersabda:
"Inti dari urusan manusia (mukmin) adalah islam, sedangkan tiangnya adalah sholat, dan atap/puncaknya adalah jihad fi sabilillah" (HR. Thabrani)

            Jika sholat tidak dilakukan dengan baik, yaitu dengan cara tepat waktu penuh penghayatan maka bangunan islam dalam diri seseorang yang melakukan itu telah runtuh. Muslim yan baik ialah muslim yang senantiasi menjaga waktu-waktu sholat, bahkan waktu sholat dijadikan sebuah ukuran dalam setipa pelaksanaan aktivitas, apalagi aktivitas dakwah.

            Sholat dalam hadits tersebut terlihat sangat erat kaitannya dengan jihad fi sabilillah, atau dalam arti jihad yang lebih sempit bisa di maknai sebagai aktivitas dakwah, artinya jika sholat kita laksanakan sesuai dengan waktunya dan dilaksanakan dengan penuh kekhusyu'an InsyaAllah akan diperoleh kemenangan dalam jihad dan dakwah (al falah), dan begitu pula sebalinya. Betapa pentingnya sholat bagi seorang da'i untuk menjaganya.

Mendirikan sholat dalam Al qur'an erat kaitannya dengan semangat juang seorang muslim dan sebagai tanda kesyukurannya terhadap apa yang Allah berikan, Allah Swt berfirman:

"sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan  ia amat kikir, kecuali bagi yang mengerjakan sholat" (Q.S. Al ma'arij 19)
-sebaiknya pembaca dapat membaca terus pada ayat berikutnya 20-22-

            Perintah sholat adalah perintah yang pertama ketika Rasulullah Isra' dan Mi'raj dan perintah sholat tersebut langsung dari Allah kepada Rasulullah, tanpa perantara wahyu melalui malaikat jibril, betapa pentingnya sholat sehingga sampai menjelang wafatnya Rasulullah menyerukan kepada umatnya untuk tetap mendirikan sholat.

            Dalam Al qur'an surat-surat pendek (juz 'amma), tepatnya dalam Al qur'an surat Al ma'un, Allah Swt berfirman:

            "maka celakalah orang yang sholat, orang-orang yang lalai dalam sholatnya, dan dan orang-orang yang ingin dipuji (riya'), dan tidak menolong dengan barang yang berguna" (Q.S. 4-7)

            Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan, yang dimaksud orang yang lalai dalam sholatnya adalah orang yang terlambat dalam sholatnya, sholat tidak tepat pada waktunya, dan senantiasa mengulur-ngulur waktu sholat, dan dalam ayat tersebut orang semacam ini akan celaka kelak.

            Betapa malangnya seseorang yang mengaku sebagai da'i atau tergabung dalam suatu harakah islamiyah, tapi sholatnya tidak tepat waktu karena alasan 'dakwah' yang sifatnya bisa ditunda dahulu. Rasulullah dan sahabat-sahabatnya juga para generasi ulama tabi'in hanya mencontohkan sholat boleh di ulurkan waktunya jika memang kondisinya tidak memungkinkan, seperti; pada saat waktu sholat tiba, sedang dalam menuntut ilmu agama, maka sholat boleh di ulurkan waktunya.

            Maka agar diri kita diberkahi dan mendapat pertolongannya serta memperoleh al falah, maka jagalah sholat. karena sholat adalah yang paling utama.

wawaffaqona 'ala ma yuhibbuhu wa yardhouhu, wa a'anana 'ala imtitsali dzalik
Dan semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menjalankan apa-apa yang dicintaiNya dan diridhoiNya, dan semoga Allah menolong kita untuk melaksanakan hal ini. Amiin
Wallahu a'alam

Rujukan:
Memurnikan La ilaha illallah, Muhammad Said Al Qathani, Muhammad bin Abdul Wahhab, dan Muhammad Quthb
Dan dari berbagai sumber

Oleh: Ahmad Ilhami
Email: Ilham_fis@yahoo.com
Blog: www.ahmad-ilhami.blogspot.com
Phone: 08561036596

Rabu, 23 Desember 2009

Mengukur Kekuatan Ruhiyah


            Dalam ceramah agama yang pernah saya ikuti dan dengar, hal yang menarik yang masih terus menempel dalam ingatan saya sampai sekarang yaitu dalam ceramah tersebut dikisahkan seorang syeikh pernah ditanya oleh muridnya ketika ia sedang terbaring karena sakit, muridnya bertanya kepada syeikh tersebut: bagaimana keadaanmu wahai guru?, sang syeikh menjawab: Alhamdulillah aku baik-baik saja. Sang murid tersentak dengan jawaban syeikh tersebut (mengapa ia menjawab baik-baik saja, padahal ia terbaring lemah), karena heran dan penasaran, sang murid kemudian bertanya kembali kepada syeikhnya: mengapa guru menjawab baik-baik saja, padahal guru sedang sakit dan terbaring lemah, kemudian syeikh tersebut menjawab: sakit yang sesungguhnya ialah ketika hatimu dilingkupi sifat dengki, iri hati dan kesombongan, dan sehat yang sesungguhnya ialah ketika hatimu bersih dari segala penyakit-penyakit hati, untuk itu aku menjawab baik-baik saja karena Alhamdulillah hatiku sedang dalam kondisi baik saat ini.

            Kisah tersebut singkat, akan tetapi sangat menyentuh dan memberikan kesadaran kepada kita akan makna hakiki dari sakit dan sehat, sehat atau sakitnya hati itulah yang merupakan salah satu contoh dari indikasi kuatnya jiwa atau spiritual atau kuatnya ruhiyah seseorang.

            Dalam kajian yang juga pernah saya ikuti, disebutkan para ulama dengan kedalaman ilmunya memberikan pengetahuan dan sebuah cara bagaimana mengukur kekuatan spiritual atau ruhiyah dalam diri kita. Ada tiga parameter yang dapat dijadikan ukuran kekuatan ruhiyah, yaitu:

            1. Produktivitas kebaikan
            2. Recovery/perbaikan diri
            3, Resistensi/pertahanan diri 

            Ruhiyah seseorang dikatakan kuat ketika produktivitas kebaikannya tinggi, dan melemah ketika produktivitas kebaikannya menurun. Sederhana sekali, semakin banyak kebaikan yang kita lakukan pada suatu waktu tertentu maka dikatakan semakin kuat ruhiyah kita. Maka, jika kita ingin mengukur apakah ruhiyah kita kuat atau tidak saat ini, maka hitunglah jumlah kebaikan yang kita lakukan setiap harinya, hal ini juga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi ibadah setiap waktu/harian. Umar r.a pernah berkata:
           
            "hisablah diri kalian, sebelum kalian dihisab (kelak di yaumil hisab)"

            Kedua, kekuatan ruhiyah kita juga dapat kita ukur dengan cara melihat apakah diri kita senantiasa mengadakan perbaikan diri (recovery) setelah melakukan perbuatan yang salah/bermaksiat. Semakin cepat kita memperbaiki kesalahan atau kembali bangkit setelah jatuh, atau bertaubat setelah bermaksiat dan terus melakukan perbaikan diri setelah rusaknya diri karena dosa-dosa yang dilakukan, maka ruhiyah kita dikatakan kuat. Bersegera kembali kepada Allah juga telah diperintahkan oleh Allah yang difirmankanNya dalam Al Qur'an:

            "bersegeralah menuju pengampunan Allah dan Surga yang luasnya seluas Langit dan Bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (Q.S. Ali Imran: 33)

            Sebaliknya, jika kita bermaksiat (besar atau kecil) lalu justru semakin terjerumus dan terpuruk dalam kubangan dosa dan terus melakukannya, maka dikatakan ruhiyah kita sedang menurun, atau bahkan dikatakan tidak ada iman sama sekali saat itu. Untuk itu cara yang paling tepat dan mudah untuk terhindar dari kubangan kemaksiatan selain dengan cara sholat yang benar juga dawamkan dan perbanyaklah beristighfar. Rasulullah Saw bersabda:

            "demi Allah, sesungguhnya aku membaca istighfar dan bertaubat kepada Allah tiap hari lebih dari 70 kali" (HR. Bukhori)

Allah Swt juga berfirman:
            "dan minta ampunlah kepada Allah (dengan membaca istighfar) dan bertaubatlah kepadaNya maka Ia akan memberikan nikmatNya padamu nikmat yang sebaik-baiknya...." (Q.S. Hud: 3)

            Beristighfar merupakan hal penting, karena seseorang yang telah terjerumus dalam kubangan kemaksiatan biasanya sulit untuk kembali dan butuh waktu untuk kembali, karena perbuatan tersebut telah dipandang biasa dan telah mendarah daging jika terlalu lama bergelimang didalamnya. 

            Yang ketiga, kekuatan ruhiyah dapat kita diukur dengan cara melihat bagaimana pertahanan diri (resistensi) kita untuk tidak melakukan kemaksiatan/keburukan saat berada dalam kesendirian. Saat kita sendiri, syetan yang memprovokatori hawa nafsu untuk berbuat keburukan lebih mudah memasukan bisikan-bisikannya dibandingkan saat kita di keramaian. Banyak kisah para shahabat dan ulama salaf (ulama terdahulu) saat kesendiriannya justru ia semakin memperkuat ikatan/hubungannya dengan Allah Swt (quwatush shilah billah).
            Kita yang sebenarnya adalah kita disaat kita sendiri. Saat kita dikeramaian bisa jadi kita tidak menampakkan diri kita yang sebenarnya namun bisa juga tidak demikian, tergantung dari diri kita masing-masing, akan tetapi kecendrungan manusia adalah menunjukkan hal yang baik-baik ketika berada dikeramaian.
Untuk itu perkuatlah hubungan dengan Allah saat kita dalam kesendirian maupun saat dikeramaian dalam bentuk apapun dan senantiasa menjaga diri untuk tetap dalam kebaikan.

wawaffaqqana 'ala ma yuhibbuhu wa yardhouhu, wa 'aanana 'ala imtitsali dzalik
Dan semoga Allah memberikan kita taufik untuk melakukan apa yang dicintai dan diridhoiNya, dan menolong kita untuk mengamalkan ini semua, Amiin.
Wallahu a'lam bishawwab.
Oleh: Ahmad Ilhami
                                                                                                Email: ilham_fis@yahoo.com
                                                                                                Phone: 08561036596