Cari di Blog ini

Jumat, 25 Desember 2009

Aceh dari Corong Masuknya Islam di Nusantara Hingga Qonun Terbentuk

Tiga Teori Masuknya Islam ke Nusantara
1. Teori Snouck Hurgronje:Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara dan Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13-di anut oleh para sarjana barat.

2. Teori Persia:Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara dan Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13.

3. Teori Arabia:Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin. Literatur-literatur cina bahkan menyebutkan sebelum abad ke 7 sudah terbentuk perkampungan Arab Muslim di Pesisir Sumatera dan juga disebutkan bahwa duta dari Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M) datang ke Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah, hanya berselang 20 tahun setelah Rasulullah wafat (Herry Nurdi-Sabili).

Intinya, Aceh adalah tempat awal mula Islam berkembang di Indonesia dan PEndapat ke-3 adalah yang paling tepat.

          Hubungan antara Aceh dan kekhalifan ini merupakan hubungan yang timbal balik, dengan banyaknya para pedagang dari Aceh yang sengaja berlabuh di jeddah untuk memperdalam Islam langsung dari sumbernya saat itu. Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah.


          Sejak zaman VOC sebenarnya Belanda mengakui hukum Islam di nusantara, dengan adanya Regerings Reglemen (1855) Belanda mempertegas perlakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori "Receptio in Complexu" yang intinya menyatakan "untuk orang Islam berlaku hukum Islam".Sampai akhir abad IX, teori ini masih berlaku kemudian Snouck Hurgronye mengubah teori ini dengan teori "Receptie" yang menyatakan hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat (Adhian Husaini).


Sejarah Islam Masuk ke Aceh

Masuknya Islam ke Aceh
        Literatur Arab kuno yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya (kerajaan Budha yang berpusat di Palembang SumSel). Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis, hingga Abad ke 12 Sriwijaya mengalami kemunduran dan masih tetap ada sampai tahun 1377.
Selain itu tentu Islam juga telah berkembang di Aceh yang saat itu masih berbentuk kerajaan yang dikenal sebagai Samudera Pasai, yang dipimpin oleh Meureuh Silu/Malik Al-Saleh (wafat 1297).

       Literatur-literatur cina bahkan menyebutkan sebelum abad ke 7 sudah terbentuk perkampungan Arab Muslim di Pesisir Sumatera dan juga disebutkan bahwa duta dari Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M) datang ke Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah, atau hanya berselang 20 tahun setelah Rasulullah wafat (Herry Nurdi-Sabili).

      Menurut HAMKA dalam bukunya Sejarah Umat Islam, Muawiyah bin Abi Sofyan yang merupakan bagian utusan Khalifah pada saat bersamaan secara diam-diam juga telah berdakwah dan singgah di tanah Jawa yang merupakan cikal bakal berkembangnya Islam melalui dakwah Wali Songo.

Samudera Pasai di Gempur oleh Kerajaan Majapahit

      Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Pada tahun 1350 Majapahit menggempur Samudera-Pasai dan mendudukinya, 27 tahun kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempur, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara buddha.


       Tahun 1389 Raja Majapahit Hayam Wuruk meninggal dan diganti putrinya Kusumawardani, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran karena terjadi perang saudara antara Kusumawardani dengan Wirabhumi yang merupakan putra ayahnya dari selirnya, kemunduran kerajaan ini semakin memuncak ketika Kusumawardhani digantikan oleh Raja Giridrawardhana dan diserang oleh Kerajaan Demak Islam yang dipimpin Raden Fatah.

        Saat itu muncul kerajaan Malaka yang dipimpin oleh paramesywara yang berganti nama Sultan Iskandar Syah setelah masuk Islam, berkembang sampai tahun 1511, yang kemudian ditaklukkan portugis yang dipimpin Albuquerque.

Samudera Pasai Bangkit Kembali

       Saat itu pula kerajaan Samudera Pasai (Aceh) mulai bangkit kembali dan mampu melawan serangan-serangan portugis dibawah kepemimpinan sultan-sultannya, yaitu; Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528), diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537), Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568), Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), Sultan Seri Alam (1576), Sultan Muda (1604-1607), Sultan Iskandar Muda(1607-1636), kemenangan-kemenangan melawan Portugis ini tidak lepas dari bantuan angkatan perang Turki Utsmani, yang juga telah membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Portugis dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Sampai Periode awal abad ke 19 keadaan Aceh tenang.

Perang Aceh dengan Belanda (1873-1904)

        Tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Perang pertama yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Kohler sendiri tewas pada tanggal 10 April 1873.

        Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.

        Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

        Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh yang menyebabkan Teuku Umar gugur, kemudian pimpinan gerilya digantikan istrinya Cut Nyak Dien.

       Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawanan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers), dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

       Hasil dari penyamarannya tersebut dipakai sebagai siasat perang Belanda yang dituangkan dalam nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh, yaitu;
1. Supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya    dikesampingkan.
2. Menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

       Nasehat tersebut diterapkan oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904) dan Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya. Gerakan perang Belanda ini dipimpin oleh Cristoffel dengan menggunakan strategi, yaitu:
1. Meniru taktik perang gerilya pejuang Aceh, ayitu perang gerilya.
2. Penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh agar para gerilyawan mudah menyerah, diantaranya putra panglima Polem,    sehingga Panglima Polem menyerah.
3. Pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang menentang Belanda (2922 orang Aceh dibunuh)-dibawah pimpinan Van Daalen    yang menggantikan Van Heutz.
4. Menangkap Cut Nyak Dien yang masih melakukan perlawanan.

         Taktik perang ini berhasil dan membuat Aceh tunduk dibawah kekuassan Belanda, yang dinyatakan dalm surat perjanjian yang telah dibuat Van Heutz sebelumnya, yang berisi:
1. Raja mengakui bahwa Aceh bagian dari Belanda.
2. Raja tidak akan mengadakan hubungan diluar negeri.
3. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda.

Aceh Pada Era Beberapa Tahun Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI

        Pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.

       Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan.

       Pada tanggal 12 Maret 1942 Rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para hulubalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan hulubalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.....(Bersambung)

Sumber:
Majalah Sabili, Herry Nurdi
Artikel "Samudera Pasai, Khilafah Islam Nusantara", Hery Ruslan
Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, H. Uka Tjandrasasmita
Sejarah Aceh, dari Wikipedia
Kesultanan Aceh, NII-RI dan NLFAS, Ahmad Sudirman
Oleh: Ahmad Ilhami
Email: ilham_fis@yahoo.com
Phone: 08561036596





Tidak ada komentar:

Posting Komentar