Dalam ceramah agama yang pernah saya ikuti dan dengar, hal yang menarik yang masih terus menempel dalam ingatan saya sampai sekarang yaitu dalam ceramah tersebut dikisahkan seorang syeikh pernah ditanya oleh muridnya ketika ia sedang terbaring karena sakit, muridnya bertanya kepada syeikh tersebut: bagaimana keadaanmu wahai guru?, sang syeikh menjawab: Alhamdulillah aku baik-baik saja. Sang murid tersentak dengan jawaban syeikh tersebut (mengapa ia menjawab baik-baik saja, padahal ia terbaring lemah), karena heran dan penasaran, sang murid kemudian bertanya kembali kepada syeikhnya: mengapa guru menjawab baik-baik saja, padahal guru sedang sakit dan terbaring lemah, kemudian syeikh tersebut menjawab: sakit yang sesungguhnya ialah ketika hatimu dilingkupi sifat dengki, iri hati dan kesombongan, dan sehat yang sesungguhnya ialah ketika hatimu bersih dari segala penyakit-penyakit hati, untuk itu aku menjawab baik-baik saja karena Alhamdulillah hatiku sedang dalam kondisi baik saat ini.
Kisah tersebut singkat, akan tetapi sangat menyentuh dan memberikan kesadaran kepada kita akan makna hakiki dari sakit dan sehat, sehat atau sakitnya hati itulah yang merupakan salah satu contoh dari indikasi kuatnya jiwa atau spiritual atau kuatnya ruhiyah seseorang.
Dalam kajian yang juga pernah saya ikuti, disebutkan para ulama dengan kedalaman ilmunya memberikan pengetahuan dan sebuah cara bagaimana mengukur kekuatan spiritual atau ruhiyah dalam diri kita. Ada tiga parameter yang dapat dijadikan ukuran kekuatan ruhiyah, yaitu:
1. Produktivitas kebaikan
2. Recovery/perbaikan diri
3, Resistensi/pertahanan diri
Ruhiyah seseorang dikatakan kuat ketika produktivitas kebaikannya tinggi, dan melemah ketika produktivitas kebaikannya menurun. Sederhana sekali, semakin banyak kebaikan yang kita lakukan pada suatu waktu tertentu maka dikatakan semakin kuat ruhiyah kita. Maka, jika kita ingin mengukur apakah ruhiyah kita kuat atau tidak saat ini, maka hitunglah jumlah kebaikan yang kita lakukan setiap harinya, hal ini juga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi ibadah setiap waktu/harian. Umar r.a pernah berkata:
"hisablah diri kalian, sebelum kalian dihisab (kelak di yaumil hisab)"
Kedua, kekuatan ruhiyah kita juga dapat kita ukur dengan cara melihat apakah diri kita senantiasa mengadakan perbaikan diri (recovery) setelah melakukan perbuatan yang salah/bermaksiat. Semakin cepat kita memperbaiki kesalahan atau kembali bangkit setelah jatuh, atau bertaubat setelah bermaksiat dan terus melakukan perbaikan diri setelah rusaknya diri karena dosa-dosa yang dilakukan, maka ruhiyah kita dikatakan kuat. Bersegera kembali kepada Allah juga telah diperintahkan oleh Allah yang difirmankanNya dalam Al Qur'an:
"bersegeralah menuju pengampunan Allah dan Surga yang luasnya seluas Langit dan Bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (Q.S. Ali Imran: 33)
Sebaliknya, jika kita bermaksiat (besar atau kecil) lalu justru semakin terjerumus dan terpuruk dalam kubangan dosa dan terus melakukannya, maka dikatakan ruhiyah kita sedang menurun, atau bahkan dikatakan tidak ada iman sama sekali saat itu. Untuk itu cara yang paling tepat dan mudah untuk terhindar dari kubangan kemaksiatan selain dengan cara sholat yang benar juga dawamkan dan perbanyaklah beristighfar. Rasulullah Saw bersabda:
"demi Allah, sesungguhnya aku membaca istighfar dan bertaubat kepada Allah tiap hari lebih dari 70 kali" (HR. Bukhori)
Allah Swt juga berfirman:
"dan minta ampunlah kepada Allah (dengan membaca istighfar) dan bertaubatlah kepadaNya maka Ia akan memberikan nikmatNya padamu nikmat yang sebaik-baiknya...." (Q.S. Hud: 3)
Beristighfar merupakan hal penting, karena seseorang yang telah terjerumus dalam kubangan kemaksiatan biasanya sulit untuk kembali dan butuh waktu untuk kembali, karena perbuatan tersebut telah dipandang biasa dan telah mendarah daging jika terlalu lama bergelimang didalamnya.
Yang ketiga, kekuatan ruhiyah dapat kita diukur dengan cara melihat bagaimana pertahanan diri (resistensi) kita untuk tidak melakukan kemaksiatan/keburukan saat berada dalam kesendirian. Saat kita sendiri, syetan yang memprovokatori hawa nafsu untuk berbuat keburukan lebih mudah memasukan bisikan-bisikannya dibandingkan saat kita di keramaian. Banyak kisah para shahabat dan ulama salaf (ulama terdahulu) saat kesendiriannya justru ia semakin memperkuat ikatan/hubungannya dengan Allah Swt (quwatush shilah billah).
Kita yang sebenarnya adalah kita disaat kita sendiri. Saat kita dikeramaian bisa jadi kita tidak menampakkan diri kita yang sebenarnya namun bisa juga tidak demikian, tergantung dari diri kita masing-masing, akan tetapi kecendrungan manusia adalah menunjukkan hal yang baik-baik ketika berada dikeramaian.
Untuk itu perkuatlah hubungan dengan Allah saat kita dalam kesendirian maupun saat dikeramaian dalam bentuk apapun dan senantiasa menjaga diri untuk tetap dalam kebaikan.
wawaffaqqana 'ala ma yuhibbuhu wa yardhouhu, wa 'aanana 'ala imtitsali dzalik
Dan semoga Allah memberikan kita taufik untuk melakukan apa yang dicintai dan diridhoiNya, dan menolong kita untuk mengamalkan ini semua, Amiin.
Wallahu a'lam bishawwab.
Oleh: Ahmad Ilhami
Email: ilham_fis@yahoo.com
Phone: 08561036596
Tidak ada komentar:
Posting Komentar