Cari di Blog ini

Selasa, 29 Desember 2009

Aceh dari Corong Masuknya Islam di Nusantara Hingga Qonun Terbentuk (2)


(Lanjutan)

Aceh Pada Masa Proklamasi Kemerdekaan RI (1945)
            41 tahun kemudian semenjak selesainya berbagai perang di Aceh, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, yang diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.
            Perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai. Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan Soekarno sebagai Presiden  dan Hatta sebagai Perdana Menteri, dan Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia, pengakuan kedaulatan RIS (1949-1950) ini tanpa disertai dengan Aceh.
            1 tahun setelah kedaulatan RIS (1950), kemudian RIS berubah menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan saat itulah muncul perbedaan pandangan para petinggi dan pejuang Aceh, beberapa akan ikut dengan NKRI dan beberapa yang lain ingin berdaulat sebagai negara Aceh yang berlandaskan Islam. Daud Beureuh adalah salah satu yang berpandangan bahwa Aceh bisa berdiri sendiri tanpa NKRI.

Awal Pemebrontakan di Aceh
            Tanggal 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan  sumpah. ”Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.” Kecuali Mohammad Daud Beureueh. Lalu, pada Pukul 10.00 dikibarkan bendera merah putih di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur) dan Tengku Nyak Arief menjadi gubernur terpilih.
            Beberapa tokoh lainnya juga mengikuti Daud Beureueh, diantaranya para hulubalang, prajurit di medan laga, prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal  sebuah gerakan pemberontakan terhadapa pemerintah pusat. Saat itu, Motornya adalah Daud Cumbok, markasnya di daerah Bireuen. Akan tetapi tokoh-tokoh ulama menentang cara Daud Cumbok ini. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, yaitu M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946.

Munculnya Pemberontakan Darul Islam (DI/TII)
            Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh (yang awalnya tidak mengucapkan janji setia kepada RI) ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh. Dan ditahun ini pula, tepatnya tanggal 16 Juni 1948 Soekarno menyatakan berjanji Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam. 
            Saat itu kondisi RI terus labil dan Belanda merajalela kembali, sehingga muncul gagasan-gagasan untuk melepaskan diri dari RI. Ide datang dari Dr. Mansur dan Wilayahnya tak cuma Aceh, tetapi meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan,  Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Saat itu Daud
Beureueh menentang ide ini, bahkan dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa
Aceh adalah bagian RI dan memobilisasi dana rakyat.
            Setahun kemudian (1949) Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan semua untuk Indonesia, diberikan untuk ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
            Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh dipenuhi kemarahan, apalagi janji Soekarno pada 16 Juni  1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.
            Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh, Beureueh tak minta merdeka, hanya meminta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953 (ide ini telah diusung di Jawa Barat oleh Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam). Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo.
            Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene  Islam mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Terjadi tragedi yang sangat bengis yang membuat kecewa para tokoh Aceh yang sejak awal pro-Soekarno, yaitu telah terjadi pembunuhan rakyat Aceh secara masal oleh TNI (1955), sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan dilapangan lalu ditembaki. Setelah melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada tahun 1959, Aceh
memperoleh status propinsi daerah istimewa.
            Soekarno makin represif saat itu, setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh kekuatan militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan Indonesia (RPI) pun ditumpas, pemimpin-pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syafarudin  Prawiranegara menyerah, diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti Muhammad Natsir, akan tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di hutan, melawan pemerintahan Soekarno.
            Beureueh merasa dikhianati Soekarno, Bung Karno tidak mengindahkan struktur  kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh sangat besar kepercayaannya kepada ulama.
            Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution, yaitu menyerah. Beureueh menuruti menantunya karena ada janji dari pemerintah akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (yang akhirnya baru terwujud tahun 2001).

Pemberontakan GAM (1976-2005)
            GAM lahir di era Soeharto, saat itu sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah dan kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.
            Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang awalnya sudah tenang akhirnya bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat dan agama Islam di Aceh. Pertemuan digagas oleh para tokoh itu (tahun 1970-an). Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Allah. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata.
            Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Hasan Tiro akan mengirim senjata ke Aceh (Zainal tak lain adalah kakak dari Hasan Tiro). Saat itu senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal.
            Pada tanggal 24 Mei 1977, para tokoh seperti Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal  Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi nama tokoh lainnya berkumpul di kaki Gunung Halimun, mendirikan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
            Sepanjang 1980an, Aceh lebih dikenal karena konflik yang terjadi antara GAM dan TNI daripada daerah yang menuntut penegakkan syari’at Islam. Banyak para ulama yang kehilangan kepercayaan dari masyarakat, karena mereka bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk meraih suara Golkar serta membangun pertahanan melawan kelompok separatis.
Saat itu, setiap upaya mendesakan penerapan Syari’at berarti melawan Pancasila ideologi negara Presiden Soeharto, apalagi GAM juga telah menyatakan maksudnya untuk menerapkan hukum Islam jika Aceh merdeka.
            GAM membangun hubungan internasional melalui para pengusaha asal Aceh yang telah sukses diluar negeri sehingga mereka mempunyai donatur tetap, di antaranya di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh,Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh, Rajek Tengku Tarzura. Dengan dana yang melimpah, pembelian senjata dapat dilakukan dengan mudah. Sedangkan untuk Pelatihan-pelatihan militer anggota GAM  dilakukan di Libia.

Berkembangnya Aspek-aspek Pemikiran Pendukung Penerapan Syariat Islam
            Sebuah perkembangan kelembagaan yang cukup penting yang terjadi pada era Soeharto yakni pembentukan pengadilan agama di seluruh Indonesia pada 1989. Pengadilan agama ini bukan mahkamah syariat, tetapi di Aceh pengadilan ini menangani masalah-masalah yang sama dengan yang ditangani oleh pengadilan Daud Beureueh sebelumnya, yaitu: masalah perkawinan dan perceraian, tanah dan warisan.
            Sepanjang masa Orde Baru, selama 30 tahun lebih, jelas bukan saat tepat melakukan lobi untuk penerapan Syari’at. Jatuhnya Soeharto pada 1998 telah menyebabkan sebuah pergeseran yang dramatis. Seakan-akan sebuah tirai tiba-tiba diangkat, pengungkapan tentang kekejaman yang dilakukan terhadap rakyat Aceh yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto mengalir keluar dari Aceh. Hari demi hari, terutama antara bulan Juni dan Agustus 1998, berita-berita di media siaran maupun cetak dipenuhi dengan cerita dari para saksi tentang kasus-kasus pembunuhan dan perkosaan terhadap warga sipil, dan banyak kuburan masal yang ditemukan.
Pada bulan Agustus 1998, Jendral Wiranto, yang saat itu adalah Panglima ABRI, mengumumkan berakhirnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Sementara pada awal 1999, Presiden Habibie secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh atas perlakuan kejam yang mereka alami. Ada perasaan oleh pemerintah pusat di Jakarta pada waktu itu bahwa Aceh layak mendapatkan ganti rugi.
             Antara tahun 2000 hingga 2004 (tragedi tsunami), konflik di Aceh memburuk, meskipun selama itu ada beberapa upaya perundingan damai. Seiring dengan berlanjutnya konflik, TNI menjadi salah satu pendukung penegakan hukum Islam, karena TNI melihat Syari’at Islam sebagai sebuah benteng melawan GAM: argumentasinya adalah rakyat Aceh memberontak pada tahun 1950an karena mereka tidak mendapatkan Syari’at, dan salah satu janji GAM kepada rakyat Aceh adalah menjalankan Syari’at (meskipun GAM adalah sebuah gerakan sekuler yang mencoba mengganti Islam dengan nasionalisme Aceh sebagai dasar ideologi mereka); karena itu, untuk menggerakkan dukungan melawan GAM, gunakan syari’at.

Akhir Konflik
            Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa. Setahun kemudian, pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.
            Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan Aceh Jaya. Kemudian tanggal 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya.
            Sejak itu sampai saat ini (2009) konflik antara GAM dan RI sudah tidak berlanjut lagi. Semoga tidak ada lagi konflik-konflik semacam ini dikemudian hari.

Penerapan Syariat Islam di Aceh
            Berbagai perkembangan tersebut diatas, telah membuat pemerintah dan banyak orang Aceh melihat Syari’at Islam sebagai sebuah kemungkinan solusi politik. Hukum Islam adalah hal yang diinginkan oleh rakyat Aceh  Beberapa pejabat percaya bahwa Syari’at akan dapat memblokir gerakan GAM, dan keberhasilan pelaksanaan Syari’at Islam diyakini merupakan salah satu jalan yang akan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah pusat.
            Hasilnya adalah diadopsinya UU No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh – untuk yang pertama kali sejak status daerah istimewa ini diberikan tahun 1959. UU ini menghendaki diterapkannya Syari’at bagi pemeluk Islam, tetapi juga perlindungan bagi hubungan antar agama. UU ini mendefinisikan Syari’at sebagai “tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan” dan memberi wewenang kepada pejabat pemerintah setempat untuk menentukan kebijakan tentang kehidupan beragama, adat istiadat, pendidikan dan peran ulama, baik melalui peraturan daerah atau keputusan gubernur.
            Untuk mengawasi kebijakan-kebijakan tersebut, pada 2001 pemerintah propinsi membentuk Dinas Syari’at Islam. Fungsinya adalah untuk menyusun rancangan peraturan
dalam rangka penyelenggaraan hukum Islam (belakangan disebut qanun), mengawasi pelatihan bagi personil Dinas Syari’at Islam, memastikan ketertiban fungsi tempat ibadah dan fasilitas Islam lainnya, memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum Islam dan mengawasi warga mentaatinya.
            TNI, menurut seorang pejabat di Aceh, telah memberikan dorongan untuk pertumbuhan birokrasi agama. Kantor-kantor Syari’at Islam di tingkat kabupaten mulai didirikan pada tahun 2002 lewat perda. TNI mungkin tak terlibat dalam pendirian beberapa kantor syari’at Islam yang pertama, meskipun kantor-kantor ini semuanya berada di wilayah konflik yang paling rawan.
            Aceh Tengah adalah salah satu wilayah yang pertama kali membuka kantor syari’at Islam pada bulan November 2002. Wilayah ini menjadi lokasi terjadinya sebuah kekerasan yang secara dramatis meningkat pada bulan Juni-Juli 2001, ketika GAM melakukan serangan terhadap sebuah lokasi transmigran asal Jawa yang kemudian menyebabkan dilakukannya serangan balasan oleh gabungan antara TNI dan milisi. Kantor-kantor Syari’at Islam yang lain didirikan di seluruh wilayah dimana banyak terjadi kekerasan, yaitu: Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Tetapi setelah pemerintah Indonesia menyatakan diberlakukannya darurat militer pada bulan Mei 2003 di Aceh, hampir seluruh kantor Syari’at Islam didirikan di kabupaten-kabupaten, atas anjuran dari Penguasa Darurat Militer.
            Pemerintah Indonesia memakai organisasi-organisasi Aceh untuk mendiskreditkan para anggota GAM dari segi keislamannya. Namun pendirian GAM tentang Syari’at lebih rumit dari yang diperkirakan oleh lawan-lawannya. GAM dianggap lebih merupakan gerakan nasionalis daripada Islamis, dan para pimpinannya memiliki perasaan yang bertentangan mengenai hukum Islam.
Pada Akhirnya penerapan Syariat Islam mulai dibangun dan secara perlahan diterapkan secara bertahap di beberapa daerah di Aceh dan akhirnya telah berlangsung beberapa pelaksanaannya di Aceh sampai sekarang (2009).

Kesimpulan
  1. Kekuatan Islam Nusantara melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda.
  2. Efek dari penjajahan Belanda masih terasa sampai saat ini, berupa pelemahan sejarah Islam (teori Snouck Hurgronje) dan sistem perundang-undangan negara Indonesia yang merupakan warisan Belanda,
  3. Kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa dan Sumatera memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Belanda, yang pada akhirnya justru 'tidak dihargai' jasanya dan justru digelapkan dari sejarah.
  4. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah, tak hanya di Jawa dan Sumatera, tetapi juga di seluruh wilayah Nusantara, sejarah ini yang perlu diangkat agar Umat Islam sadar dan bangkit kembali.
  5. Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar, sejarah itu pula yang mengantarkan Indonesia saat ini menjadi sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja akibat ulah pihak luar yang ingin melemahkannya.
  6. Rakyat Indonesia, khususnya umat Islam adalah orang-orang dengan sejarah besar, karena itu umat Islam mempunyai tugas untuk mengembalikan dan mengukir kembali sejarah yang besar ini untuk kebangkitan Islam.
  7. Walaupun penerapan syariat Islam di Aceh berbau Politis, akan tetapi dapat menjadi solusi perdamaian di Aceh dan semoga dapat menjadikan Aceh sebagai wilayah yang diberkahi Allah Swt karena menjalankan hukumNya.
  8. Semoga kita bisa menjadi orang yang mampu memetik sejarah sebagai pelajaran sebagai tauladan hidup di masa kini, amiiin.
Wallahu a’lam bishawwab


Sumber:
Majalah Sabili, Herry Nurdi
Artikel "Samudera Pasai, Khilafah Islam Nusantara", Hery Ruslan
Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, H. Uka Tjandrasasmita
Sejarah Aceh, dari Wikipedia
Kesultanan Aceh, NII-RI dan NLFAS, Ahmad Sudirman
The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation
Front of Acheh Sumatra
Syari’at Islam Dan Peradilan Pidana Di Aceh, Asia Report , 31 Juli 2006
Majalah enha, artikel oleh A. Mansyur Surya Negara.

Oleh: Ahmad Ilhami
Blog: ahmad_ilhami.blogspot.com
Phone: 08561036596


Tidak ada komentar:

Posting Komentar